Islam Membangun Kesatuan Bangsa

Oleh IRFAN ANSHORY

DALAM Alquran Surat Ibrahim ayat 34, Allah SWT berfirman: wa in ta'udduu
ni'mata l-Laahi laa tuhshuuhaa ("Dan jika seandainya engkau hendak
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya tidaklah engkau mampu
menghinggakannya"
). Di antara nikmat Allah yang tak terhingga banyaknya
itu, nikmat yang paling besar bagi kita bangsa Indonesia adalah masuknya
agama Islam ke tanah air kita beberapa abad yang silam.

Islam menyebar tidak melalui kekerasan, melainkan secara damai,
disebarkan oleh para pedagang, dan para ulama yang tidak tercatat dalam
buku sejarah. Islam membawa gelombang modernisasi ke dalam masyarakat
kita, yang saat itu masih terkungkung dalam kepercayaan animisme dan
politeisme, serta terhambat oleh stagnasi feodalisme dengan struktur
kasta-kasta yang diskriminatif.

Dengan bangga kita katakan bahwa ajaran Islamlah yang mula-mula
menanamkan rasa kesatuan kebangsaan yang ada sekarang. Islamlah yang
pertama kali mempersatukan suku-suku bangsa yang berserak tersebar di
seluruh Nusantara, 500 tahun sebelum dikumandangkannya Sumpah Pemuda
tahun 1928.

Berkali-kali sejarah menunjukkan bahwa orang Islam dari suatu daerah
dapat menjadi orang besar di daerah lain, meskipun pada masa itu paham
"nasionalisme Indonesia" belum dikenal. Hal ini karena ajaran Islam
menekankan bahwa kehidupan adalah iman dan amal saleh yang didasari
takwa kepada Allah. Kepada orang tidaklah dipersoalkan apa bangsa dan
sukunya, yang diperhatikan lebih dahulu adalah amal baktinya.

Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak. Di zaman
Sultan Trenggono, datanglah seorang ulama dan ahli perang dari Aceh.
Itulah Fatahillah, yang diangkat menjadi panglima perang Demak,
menggempur armada Portugis di Sunda Kalapa, lalu mendirikan Kota
Jakarta. Ini baru satu contoh bahwa benih-benih persatuan bangsa telah
ditanamkan Islam sejak abad ke-16! Tidak usah heran jika Ki Geding Suro,
bangsawan Demak yang pergi ke Palembang, diterima dan diangkat menjadi
raja pertama dari Kesultanan Palembang.

Pati Unus (sebutan Portugis untuk Adipati Yunus) dari Demak, mengirimkan
angkatan lautnya untuk mengusir Portugis yang telah menaklukkan Malaka.
Sayang sekali bala bantuan itu gagal, karena kedudukan Portugis sudah
terlalu kuat. Sekalipun demikian, pengharapan akan bantuan dari
saudara-saudaranya di Jawa tetaplah tinggal dalam jiwa anak Melayu,
sehingga timbul dari bibir mereka satu pantun: Jika jatuh Kota Melaka,
mari di Jawa kita dirikan, jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa
saya serahkan. Pantun ini telah beratus tahun menjadi dendang anak
Melayu sampai sekarang.

Sebaliknya, orang-orang Melayu yang terpaksa meninggalkan negerinya yang
diduduki Portugis mengembara sampai ke Kalimantan dan Sulawesi sambil
menyebarkan Islam. Mereka dihormati sebagai saudara sesama Muslim.
Demikian juga setelah Kerajaan Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan
menerima Islam pada awal abad ke-17, ulama-ulama Minangkabau dan Jawa
Timur diterima dengan tangan terbuka.

Ketika pengaruh Belanda masuk di Kerajaan Mataram, memberontaklah
Trunojoyo, pahlawan dari Madura, terhadap Sunan Amangkurat I. Karaeng
Galesong dari Makassar menggabungkan diri dengan Trunojoyo untuk melawan
Belanda. Tidak dikaji lagi apakah dia orang Madura atau Makassar, karena
mereka telah diikat oleh akidah yang sama. Meskipun bahasa Madura lain
dengan bahasa Makassar, mereka bertemu dalam bahasa Melayu yang telah
berkembang pada saat itu sebagai bahasa persatuan di Nusantara.

Syekh Yusuf Tajul-Khalwati ulama Makassar mengembara ke Banten, diangkat
oleh Sultan Ageng Tirtayasa menjadi mufti kesultanan, dan bersama-sama
berjuang melawan Belanda. Si Untung diberi gelar Surapati oleh Sultan
Cirebon dan diberi gelar Wironegoro oleh Sultan Mataram. Dia asalnya
budak dari Bali, tetapi karena dia telah Islam dan berjuang melawan
Belanda, dia diterima menjadi bangsawan Jawa.

Tatkala usai Perang Diponegoro di Jawa, Belanda mengirim Sentot Ali
Basyah ke Minangkabau untuk memerangi kaum Paderi yang dipimpin Tuanku
Imam Bonjol. Sesampainya di Minangkabau Sentot segera berbalik arah dan
bersekutu dengan kaum Paderi, demi dilihatnya yang dihadapinya adalah
saudara-saudaranya seagama. Lalu tokoh-tokoh GAM sekarang yang mungkin
belum sepenuh hati bergabung ke pangkuan Republik Indonesia, hendaklah
ingat bahwa beberapa sultan Aceh ada yang berdarah Melayu atau Bugis,
bahkan ada juga yang keturunan Arab.

Semua yang kita uraikan ini bukanlah dongeng yang dibuat-buat, tetapi
fakta-fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Karena, Islam memang tidak
membedakan apakah seseorang itu sultan dari Aceh ataukah budak dari Bali
ataukah penjelajah lautan dari Bugis. Yang dihitung bukan darah dan
keturunannya, tetapi bakti, takwa, dan tujuan hidupnya. Inna akramakum
'inda l-Laahi atqaakum. "Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di
sisi Allah adalah yang paling takwa."

Meskipun setiap suku bangsa mempunyai bahasa dan aksara sendiri-sendiri,
mereka memakai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Sebagai aksara
persatuan, mereka mengambil huruf Arab. Karena, huruf Arab tidak
memiliki fonem nga, nya, ca, dan ga, maka 'ain diberi tiga titik menjadi
nga; nun diberi tiga titik menjadi nya; jim diberi tiga titik menjadi
ca; dan kaf diberi satu titik menjadi ga.

Dengan demikian, seluruh suku bangsa dari Aceh sampai Papua
berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama. Cuma sayangnya, huruf
yang pernah menjadi huruf persatuan Nusantara itu sekarang tidak
terpelihara lagi. Di Malaysia huruf itu disebut huruf Jawi, tetapi di
Jawa disebut huruf Melayu. Rupanya orang Melayu lempar ke Jawa, orang
Jawa lempar ke Melayu, akhirnya tenggelam di Selat Malaka!

Selain menanamkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, ajaran Islam juga
telah menanamkan modal yang paling besar dalam menentang imperialisme
dan kolonialisme. Kekuatan jiwa untuk melawan penjajah, meskipun
kekuatan senjata kadang-kadang tidak seimbang, disemangati oleh ajaran
iman dan tauhid. Hampir semua pahlawan-pahlawan besar dalam sejarah
perjuangan bangsa kita dibangkitkan oleh Islam. Jika kita susun
nama-nama pahlawan, baik kalangan bangsawan maupun rakyat jelata,
niscaya Islamlah dasar perjuangan sebagian besar mereka.

Sultan Agung Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Sultan Iskandar
Muda Mahkota Alam Aceh, Sultan Hasanuddin Makassar, Sultan Mahmud
Badaruddin Palembang, Sultan Khairun dan Babullah Ternate, dan
lain-lain. Tidak ada semangat lain yang mendorong mereka berjuang
melawan penjajah melainkan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan
Allah). Kemudian deretkanlah nama-nama yang kita agung-agungkan:
Pangeran Abdulhamid Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Antasari,
Raden Intan, Teuku Umar Johan Pahlawan, Teuku Cik di Tiro, Kyai Mojo,
Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, Kyai Tapa, Ratu Bagus Buang, Panglima
Polim, srikandi-srikandi Cut Nyak Din dan Cut Meutia, dan lain-lain.
Masih banyak lagi para syuhada' yang kekurangan tempat kalau disebutkan
semuanya. Ternyata cahaya imanlah yang memancar dari lubuk sanubari
mereka sehingga rela tampil melawan penjajah.

Bagaimanakah dengan pahlawan Pattimura dari Maluku yang beragama
Kristen? Kalau orang membicarakan Pattimura, orang tidak dapat menghapus
nama Sayid Parintah, ulasma Islam dari Saparua yang merupakan guru dari
Pattimura. Dialah yang mengobarkan semangat Pattimura melawan penjajah,
sehingga kedua-duanya sama-sama naik tiang gantungan.

Tahun 2007 sekarang kita mengenang gugurnya pahlawan dari Tanah Batak,
Si Singamangaraja XII. Beliau seorang Muslim, dikhitan dengan upacara
adat di istana Bakkara, cap kerajaannya yang masih tersimpan bertuliskan
huruf Batak dan huruf Arab yang bertarikh 1304 Hijriyah. Pada
pertengahan abad ke-19, Belanda membuka pintu selebar-lebarnya bagi
zending dan missi untuk berusaha mengkristenkan Tanah Batak, supaya
terpecah dua kekuatan Islam di Sumatra, yaitu Aceh dan Minangkabau.
Tahun 1865 pendeta Nommensen berhasil membaptis Raja Pontas Lumbantobing
di Silindung. Maka tahun 1872 Raja Si Singamangaraja XII melancarkan
jihad terhadap Belanda dan sekutu-sekutu lokalnya, sampai dia syahid
tahun 1907, tepat 100 tahun yang silam.

Kalau kita tinjau kebangkitan nasional awal abad ke-20, sebenarnya
tidaklah tepat kalau dikatakan dimulai dari organisasi Budi Utomo, yang
bersifat lokal kejawaan dan dianggap "anak manis" oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pemimpin nasional yang pertama-tama disambut oleh
masyarakat di seluruh tanah air bukanlah Dr.Wahidin Sudirohusodo,
melainkan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Syarikat Islam.

Organisasi Syarikat Islam inilah, dengan semboyan "kerso, kuwoso,
mardiko", yang pantas disebut pelopor kebangkitan nasional, sebab dalam
kongresnya di Bandung tahun 1916 telah menyuarakan "kemerdekaan Hindia"
dan para aktivisnya berasal dari berbagai suku, seperti Haji Agus Salim
dari Minangkabau, Aruji Kartawinata dari Sunda, dan Abdul Muttalib
Sangaji dari Maluku.

Lalu pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan kita yang masih
muda, ajaran Islamlah yang mengobarkan jiwa seorang aktivis Pemuda
Muhammadiyah memimpin angkatan perang Republik Indonesia melakukan
perang gerilya. Itulah Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang tidak
mengenal menyerah, sekalipun Presiden Soekarno sendiri sudah mengangkat
bendera putih kepada Belanda. Kemudian kalimah takbir Allahu Akbar yang
dikumandangkan oleh Bung Tomo melalui siaran radionya, itulah yang
menggerakkan rakyat berbondong-bondong datang ke Surabaya untuk
bertempur melawan Inggris dan NICA 10 November 1945, yang setiap tahun
kita peringati sebagai Hari Pahlawan.

Pada era Orde Baru, kita pernah merasakan adanya usaha-usaha yang
mencoba untuk mengesampingkan peranan Islam dalam negara ini, agar orang
Islam lupa akan sejarahnya sendiri. Kalaulah ada yang berusaha
menonjol-nonjolkan Islam, maka datanglah tuduhan: ekstrim kanan! Supaya
umat Islam tidak perlu lagi menyebut-nyebut Demak dan Walisongo. Yang
perlu diingat ialah Mahapatih Gajah Mada. Lalu dihidupkan kembali
suasana jahiliyah, mistik, primbon, wangsit, dan dikatakan inilah
kepribadian asli Indonesia.

Dalam era reformasi sekarang, sekali-sekali masih terdengar juga wacana
aneh yang mencoba mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan. Masih
ada saja suara usil yang mengatakan bahwa pelaksanaan syariat Islam
bertentangan dengan Pancasila dan dapat mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Padahal, ajaran Islamlah yang paling besar
sahamnya dalam mewujudkan kesatuan bangsa ini sejak berabad-abad sebelum
"Sumpah Pemuda".

Janganlah lupa bahwa istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang merupakan
sila pertama dalam Pancasila kita merupakan usulan Ketua Umum
Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, ketika rumusan Pancasila difinalkan
pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus
1945, sehari setelah proklamasi. Sudah tentu, Ki Bagus Hadikusumo bukan
mendapatkannya dari yang lain-lain, tetapi dari akidah Islam La ilaha
illa llah (Tiada Tuhan melainkan Allah) dan Qul huwa llahu ahad
(Katakanlah: Dia Allah Yang Maha Esa).

Sadar atau tidak sadar, dalam menyusun perlengkapan negara ini kita
banyak mengambil dari perbendaharaan istilah Islam, seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Kedaulatan Rakyat,
Masyarakat Adil Makmur, dan sebagainya. Mana kata yang bukan bahasa
Alquran? Cuma imbuhannya saja yang asli dari nenek-moyang. Kelihatannya
ini hal yang sepele. Tetapi, mengapa kita memakai istilah-istilah ini?
Karena itulah, yang sesuai dengan selera bangsa Indonesia. Kapankah
selera itu tertanam? Masya Allah, bukan kemarin, bukan sejak 17 Agustus
1945 atau 28 Oktober 1928, tetapi sudah beratus-ratus tahun jiwa Islam
itu sudah tertanam dalam tubuh sebagian besar bangsa kita.

Marilah kita resapkan dalam-dalam bunyi alinea ketiga Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.

Komentar

Postingan Populer