Persia Majusi, Syiah dan Yahudi
Kabbalah
Akibat mengalami penindasan yang panjang selama beribu tahun, bangsa Yahudi memelihara kepercayaan nenek-moyang mereka yang pada dasarnya menyimpang bahkan bertentangan dengan aqidah yang diajarkan oleh Nabi Musa as. Kepercayaan kuno itu dipelihara dengan keyakinan untuk mempertahankan eksistensi mereka. Di antara kepercayaan yang tertua dan paling dihormati adalah kepercayaan ‘Qabala’, atau kadangkala ditulis ‘kabbala’. Nama Qabala diambil dari kata Ibrani ‘qibli’, yang maknanya ‘menerima’. Qabala dalam hal ini berarti ‘menerima doktrin okultisme (ilmu sihir) rahasia’.
Sejak masa Nabi Ibrahim as meninggalkan Sumeria (Irak sekarang ini) sampai dengan masa penjajahan Romawi atas Palestina. Qabala tetap merupakan kepercayaan Yahudi yang sangat rahasia, yang ajarannya hanya diketahui oleh anggotannya, disampaikan dengan cara dari mulut ke telinga, disampaikan oleh para pendeta tinggi kepada para novice. Selama periode ini para pendeta itu tinggal di Sumeria, kemudian menyebar ke Mesir Kuno, dan Palestina Kuno. Salah seorang pendeta tinggi Qabala ialah samir, tokoh yang mengajak bani Israil yang baru saja keluar dari tanah Mesir untuk menyembah patung anak sapi yang terbuat dari emas, tatkala meraka di tinggal oleh Nabi Musa as berkhalwat di gunung Tursina di Sinai untuk menerima wahyu ‘firman yang sepuluh’ dari Allah swt.
Beberapa waktu setelah berakhirnya penjajahan Romawi di Palestina, para pendeta tinggi Qabala memutuskan tradisi okultisme kuno itu untuk digunakan secara tertulis ke atas papyrus berupa gulungan (scroll) sebagai usaha agar ajaran itu dapat diwariskan kepada generasi Yahudi berikutnya. Selama pendudukan Romawi itu ajaran Qabala dihimpun dari berbagai tradisi lisan ke dalam beberapa gulungan, dan akhirnya dijiid kedalam sebuah kitab yang utuh.
Tugas menghimpun ajaran yang masih berupa lisan itu dibebankan kepada dua orang, yaitu Rabbi (guru,pendeta) Akiva bin Josef, yang menjadi ketua Majelis Tinggi Pendeta Sanhedrin pada waktu itu, dan pembantunya Rabbi Simon bin Joachai. Pada waktu itulah Qabala tersistematikkan menjadi dua jilid: Sefer Yetzerah (Kitab Genesis, tentang penciptaan alam semesta), dan Sefer Zohar (kitab Keagungan).
Kitab Zohar penuh dengan ayat-ayat yang bersifat rahasia dan amsal, dan ayat-ayat itu hanya dapat dipahami melalui Kitab Yetzerah, semacam kitab terjamah. Beberapa abad sesudah Masehi, di Eropa muncul kitab ajaran Qabala baru bernama Sefer Bahir, Kitab Cahaya. Ketiga kitab itu semuanyan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Ketiga kitab Qabala itu memuat ajaran sangat suci bagi sekte kultus sesat, penyembahan kepada Iblis, dam menjadi buku pegangan gereja-gereja Iblis di seluruh dunia.
Kaun Yahudi Qabalis, sebagaimana ajaran Samir, secara terang-terangan menyatakan permusuhan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta alam semesta. Menurut iman mereka, Iblis atau Lucifer, telah diperlakukan secara tidak adil dan ia adalah satu-satunya tuhan yang berhak disembah. Iblis adalah tuhan mereka. Iblis atau khususnya Setan, dalam bahasa-bahasa Semit (termasuk bahasa Arab) berarti pemberontak, pembangkang, yakni memberontak dan membangkang kepada Allah swt. Karena itu kaum Qabalis tidak menyebutnya dengan nama Iblis. Mereka menyebutnya dengan nama Lucifer, yang berarti pembawa sinar cahaya. Penggunaan kata Iblis dianggap sebagai penghujatan kepada tuhan mereka. Kata Lucifer berarti cahaya, terang, pencerahan dan sebagainnya.
Salah satu tema penting yang berkaitan dengan kepercayaan Qabala ialah kekuasaan yang dating dari cahaya, api dan matahari. Ketiga hal itu menjadi perlambang dari ajaran penyembahan kepada Iblis, yang dipercayai diciptakan dari api. Segala sesuatu yang berkaitan dengan cahaya, api atau matahari, merupakan perlambang dari Iblis.
Ajaran Qabala menjelaskan adanya hierarki kekuasaan mereka yang mereka sebut sefortim, yang dalam bahasa Ibrani berarti penyinaran.
Menurut ajaran Qabala manusia tidak butuh akan Allah, bahkan menurut mereka manusia bias menjadi manusia suci yang setara dengan tuha. Mereka menyebut paham ini dengan istilah humanisme, bahwa manusia berdaulat untuk mengatur hidupnya sendiri di dunia. Kaum Qabalis menyebarkan paham ini kepada kaum non-Qabalis untuk menghancurkan keimanan manusia kepada Allah swt.
Dari sini, mulai nampak keterkaitan erat antara Majusi, Syiah dan Yahudi. Zororasterisme adalah salah satu cabang dari kepercayaan Qabala yang menyebar ke
Komentar